Cari Blog Ini

Belajar dari Sinetron: Jadilah Diri Sendiri

Senin, 01 Desember 2014

Sudah bertahun lalu saya memutuskan untuk tidak nonton sinetron lagi. Abis kesel, capek, ceritanya selalu sepertinya tidak berujung. Muter-muter, balik lagi kesitu, kesitu lagi balik. Kalau gak masuk rumah sakit, jatuh ke jurang, pasti hilang ingatan. 

Tapi tadi sore, saya terpaksa nonton sinetron karena ada seorang teman main ke rumah dan terjadilah perebutan kekuasaan remote control. Ya sudah, sebagai tuan rumah saya mengalah.

Dia bilang, kamu gak suka ya nonton sinetron? Saya jawab gak. Saya lebih suka nonton berita. 

Loh kenapa? Karena berita itu fakta. Sinetron itu fiksi. Dia diem aja.

Tapi setelahnya saya jadi mikir. Berita itu fakta. Sinetron itu fiksi. Benarkah?

Dalam kenyataannya, seringkali berita menjadi fiksi. Bahasa narasinya sangat hiperbolik, pakai musik yang dramatik, kemudian liputannya tidak melakukan verifikasi dan konfirmasi, sepihak, tidak seimbang. 

Jelas ini melanggar kode etik jurnalistik, sehingga sering membuat orang bingung: ini berita atau fiksi?

Di sisi lain, sinetron yang katanya fiksi, tapi sering memunculkan fakta. Fakta bahwa sinetron Indonesia ternyata kebanyakan adalah jiplakan. Kebanyakan jiplak dari Korea.

Yang menariknya lagi, di Korea-nya sendiri tidak punya sinetron panjang, paling panjang cuma 52 episode, kebanyakan malah hanya sekitar 26 episode. Tapi kok bisa yah, ketika di Indonesia dijiplaknya bisa menjadi beratus-ratus episode?! Aneh memang.

Saya tadi buka Wikipedia, saya ketik 'Sinetron Indonesia', ternyata ada 3.864 halaman. Wah, banyak sekali. Pantas saja, saking banyaknya sampai-sampai para pelaku industri sinetron kehilangan ide (atau memang mental copy-cat?), sehingga harus menjiplak sinetron luar negeri.

Ya sudahlah. Inilah industri. Karena nyatanya 40% lebih belanja iklan di televisi yang katanya mencapai angka 145 triliun per tahun, adalah untuk sinetron. Tidak peduli itu jiplakan, tidak perduli itu mendidik atau tidak, yang penting dapat keuntungan.

Kesimpulan
Bingung buat kesimpulannya. Karena gak tahu ini ngomongin apa, hehe... Tapi karena dipaksa membuat kesimpulan, ya sudah kesimpulannya ini saja:

Jadilah diri sendiri.
Karena ketika kita hidup dalam kepura-puraan: berusaha menjadi orang lain, meniru gaya orang lain, maka tak ubahnya kita sedang berjalan pada titian panggung sandiwara sinetron.

14 komentar

  1. Kalau 26 episode jadi 2600 episode itu berarti sutradaranya punya imajinasi tinggi mba, tapi berujung membosankan. Hehehe.. kalau saya misalpun nnton sinetron itu yang berbau religi, mungkin ada pelajaran hidup yang bisa kta ambil darisana mba...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya, mungkin masih mendingan deh klo sinetron religi. :)

      Hapus
  2. oya, nambah lagi.. Saya tidak ingin jadi seperti Soekarno, Khairil anwar, Kusni kasdut, Atau mba indri lidiawati, atau bahkan mba ya ni, tapi saya hanya ingin jadi diri saya sendiri. Heheh tul ga mba?

    BalasHapus
  3. ikut nyimak, tetapi kayaknya kesimpulan ama artikel kog kurang sesuai mbak, hehehe :D salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha... ya kan udah saya bilang di atas,, saya bingung buat kesimpulannya... anyway, makasih sudah mampir.

      Hapus
  4. Be yourself and do your best begitulah kesimpulannya mungkin ya :v.
    kok blognya bgus sih wkwkkw, udah ada iklan mbah googlenya #cantik. Ayo nulis yang banyak mba..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe, makasih ya atas pujiannya. iya nih, ga tau mau nulis tapi gak sempet2. ya gitulah waktunya abis buat ngurus anak & suami.

      Hapus
  5. mbaa... kok ngga nulis lagi....

    BalasHapus
    Balasan
    1. pengen bangettt, nanti pasti nulis lagi deh, hehe

      Hapus
  6. Mbak, template blognya ini aku minta donk...

    BalasHapus
  7. mba sya terpesona sama kesederhanaan templatenya , kalau boleh izin unduh templatenya mba boleh kah ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. boleh, silakan, tapi aku gak gitu ngerti ttg templet

      Hapus

 

Entri Populer